Tempat Wisata

Senin, 03 November 2008

ISLAM PEMBELA ORANG-ORANG LEMAH

Tafsir Surah Al-Kautsar

Ini surat Makkiyah, terdiri dari tiga ayat, diturunkan setelah surat Al-‘Adiyat. Hubungan surat ini dengan surat sebelumnya (surat Al-Ma‘un), adalah bila Allah menjelaskan dalam surat terdahulu tentang orang yang mendustakan agama dengan empat macam sifat, yaitu al-bukhl (bakhil), tidak mau melakukan salat, riya, dan tidak mau memberikan pertolongan, maka dalam surat Al-Kautsar Allah menyebutkan sifat-sifat yang dikaruniakan kepada Rasulullah Saw. berupa kebaikan dan keberkahan. Disebut-kan bahwa beliau diberi Al-Kautsar, yang berarti kebaikan yang banyak, dorongan untuk melakukan salat dan membiasakan-nya, ikhlas dalam melakukannya dan bersedekah kepada kaum fuqara.

Asbâb al-nuzûl surat ini ialah sebagai berikut: Orang-orang musyrik Mekkah dan orang-orang munafik Madinah mencela dan mengejek Nabi Saw. dengan beberapa hal. Pertama, orang-orang yang mengikuti beliau adalah orang-orang dhu‘afa, sementara orang-orang yang tidak mengikutinya adalah para pembesar dan pejabat. Andaikan agama yang dibawakan itu benar, tentu pembela-pembelanya itu ada dari kelompok orang pandai yang memiliki kedudukan di antara rekan-rekannya.

Pernyataan mereka seperti itu bukanlah hal yang baru. Dulu, kaum Nabi Nuh a.s. juga berkata demikian kepada nabi mereka. Dikisahkan dalam Al-Quran sebagai berikut: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) manusia biasa seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Hud, 11:27).

Memang sudah begitu adanya, orang yang paling cepat memenuhi dakwah Rasul adalah para dhu‘afa. Itu disebabkan, di antaranya, karena mereka tidak memiliki harta sehingga tidak perlu takut hartanya akan tersia-siakan di jalan dakwah. Orang-orang dhu‘afa juga tidak memiliki pangkat atau kedudukan yang menyebabkan mereka takut akan kehilangan pangkat atau kedudukannya di hadapan kedudukan yang dikaruniakan oleh Shâhib Al-Da‘wah.

Kebersamaan para dhu‘afa itu memang tidak disenangi oleh para tuan dan pembesar. Sehingga, ketika kelak mereka masuk ke dalam agama Allah, mereka masuk dalam keadaan benci. Karena itu seringkali terjadi perdebatan antara mereka dan para rasul. Mereka berusaha untuk melenyapkan dan mengganggu pengikut-pengikut Rasul. Namun Allah menolong rasul-rasul-Nya, memperkuat dan memperkokoh mereka.

Sikap para pembesar seperti itu terjadi pula pada Rasul Saw. Karenanya, sungguh para pembesar telah menentang beliau karena kedengkian mereka kepada Rasul dan para pengikutnya yang ber-kedudukan rendah. Kemudian, ketika mereka melihat putra-putra Rasulullah meninggal, mereka pun berkata: “Terputuslah keturunan Muhammad, dan dia menjadi abtar.” Mereka mengira wafatnya putra-putra Rasul itu sebagai aib, sehingga mereka mencela beliau dengan hal itu, dan berusaha memalingkan manusia dari mengikutinya. Apabila mereka melihat syiddah (kesulitan) yang turun kepada orang-orang Mukmin, mereka senang dan menunggu kekuasaan itu bergeser kepada mereka. Mereka berharap kekuasaan itu hilang dari kaum Muslim, sehingga kedudukan mereka yang sempat digoncang-kan oleh agama baru itu kembali lagi kepada mereka.

Atas dasar itu, surat Al-Kautsar ini turun untuk menegaskan kepada Rasul Saw. bahwa apa yang diharapkan oleh orang-orang kafir itu merupakan harapan yang tidak ada kebenarannya; untuk menggoncangkan jiwa orang-orang yang tidak mau menyerah dalam pendiriannya, yang tidak lembut tiang-tiangnya, orang-orang yang berkepala batu; untuk menolak tipuan orang-orang musyrik dengan sebenar-benarnya; dan untuk mengajarkan kepada mereka bahwa Rasul akan ditolong, sementara pengikut-pengikut-nya akan memperoleh kemenangan.

Tafsir Surah Al-Kautsar

Innâ a‘thainâ ka al-kautsar fashalli lirabbika wanhar inna syâni’aka huwa al-abtar
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar. Maka salatlah kamu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya pembenci-mu itulah yang akan binasa. (QS Al-Kautsar, 108:1-3).

1. Al-Kautsar. Al-kautsar ialah bekal atau belanja dalam jumlah yang banyak. Al-kautsar artinya yang banyak memberi. Yang dimaksud dengan al-kautsar di sini ialah kenabian, agama yang benar, petunjuk dan apa yang ada di dalamnya tentang kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2. Al-Abtar. Menurut asal katanya, al­abtar adalah binatang yang terpotong ekornya. Adapun yang dimaksud al-abtar di sini ialah orang yang namanya tidak berlanjut dan jejaknya tidak kekal. Pengumpamaan kekalnya sebutan yang baik dan berlanjutnya jejak yang indah dengan ekor binatang karena ekor binatang itu mengikuti binatangnya dan menjadi perhiasan baginya. Sehingga, orang yang tidak memiliki sebutan yang kekal dan jejak indah yang berlanjut diibaratkan sebagai orang yang ekornya terlepas atau terputus.

Dengan surat ini Allah hendak menegaskan sebagai berikut: Aku telah memberikan kepadamu pemberian yang banyak sekali yang jumlahnya tidak terhitung. Aku telah mengaruniaimu berbagai karunia, yang tidak mungkin sampai pada hakikatnya. Apabila musuh-musuhmu menganggap enteng dan kecil terhadap karunia itu, maka itu disebabkan karena kerusakan pikiran dan lemahnya persepsi mereka. Salatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah. Jadikanlah salatmu hanya kepada Tuhan saja, dan sembelihlah sembelihanmu yang merupakan pengorbananmu bagi Allah jua. Sebab, Allahlah yang memeliharamu dan melimpah-kan kepadamu segala nikmat-Nya, bukan yang lain, seperti Aku telah memerintahkan kepada para nabi-Ku: Qul inna shalâti wa nusukî wa mahyâya wa mamâti lillâhi rabb al­‘âlamin lâ syarîka lahu wa bidzâlika umirtu wa ana awwal al-muslimîn. Katakanlah, sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku dan matiku untuk Allah yang mengurus alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan. Dan aku menjadi Muslim yang pertama.”

Setelah menggembirakan Rasul Saw. dengan sebesar-besarnya kabar gembira, dan meminta beliau untuk bersyukur kepada-Nya atas nikmat dan kesempurnaannya, lalu Allah menegaskan bahwa musuh-musuh beliaulah yang justru akan terkalahkan dan terhinakan, “Inna syâni’aka huwa al-abtar. Sesungguhnya pembencimu, baik yang dulu maupun yang sekarang, akan terputus namanya dari kebaikan dunia dan akhirat, sehingga keturunanmu akan kekal dan akan kekal juga nama dan jejak-jejak keutamaanmu sampai hari kiamat.”

Sebenarnya para pembenci itu tidaklah membenci Rasul karena kepribadiannya. Mereka sebetulnya mencintai beliau lebih dari kecintaan kepada mereka sendiri. Namun, mereka marah kepada apa yang dibawakan oleh beliau berupa petunjuk dan hikmah yang merendahkan agama mereka, mencela apa yang mereka sembah, dan memanggil mereka kepada sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka lakukan selama ini.

Allah sudah menegaskan dan membuktikan kepada pembenci-pembenci Rasul di kalangan Arab dan ajam pada zaman beliau, bahwa mereka akan ditimpa kehinaan dan kerugian, dan tidak tersisa dari mereka kecuali nama yang jelek. Dia juga menegaskan dan membuktikan bahwa Nabi Saw. dan orang-orang yang mendapat petunjuknya akan mendapatkan kedudukan di atas apa pun, sehingga kalimah mereka menjadi kalimah yang paling tinggi.

Allah sudah menegaskan dan membuktikan kepada pembenci-pembenci Rasul di kalangan Arab dan ajam pada zaman beliau, bahwa mereka akan ditimpa kehinaan dan kerugian, dan tidak tersisa dari mereka kecuali nama yang jelek. Dia juga menegaskan dan membuktikan bahwa Nabi Saw. dan orang-orang yang mendapat petunjuknya akan mendapatkan kedudukan di atas apa pun, sehingga mereka menjadi yang paling tinggi.

Al-Hasan rahimahullah berkata: “Orang-orang musyrik disebut abtar karena tujuan mereka terputus sebelum mereka mencapainya. Sejahterakanlah Nabi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah Engkau tinggi-kan namanya; telah Engkau rendahkan para pembencinya, dengan shalawat yang kekal, sekekal zaman.”

Penjelasan di atas saya ambil dari tafsir Ibn Katsir. Di sini juga disebutkan beberapa keterangan tentang al-kautsar, sebagai berikut:

1. Telaga di Surga

2. Kebaikan yang baik;

3. Putra-putra Rasulullah

4. Sahabat-sahabat dan pengikutpengikut Rasul Saw. hingga hari
kiamat;

5. Ulama di kalangan umat Muhammad Saw;

6. Al-Quran dengan segala keutamaannya yang banyak;

7. Nubuwwah;

8. Dimudahkannya Al-Quran;

9. Islam;

10. Tauhid;

11. Ilmu;

12. Hikmah; dan sebagainya.

Di sini bahkan sampai diriwayatkan ada dua puluh enam mazhab tentang apa yang dimaksud dengan al-kautsar. Tapi kita akan mengambil tharîqah al-jam‘i (teori penggabungan), artinya seluruhnya benar. Kita mengambil yang umum, al-kautsar adalah kenikmatan yang banyak, yang dikaruniakan kepada Muhammad Saw. dan umatnya. Dan kenikmatan itu bisa berupa Al-Quran, atau petunjuk Allah, atau bertambah-nya pengikut beliau sampai akhir zaman hingga tidak terputus setelah beliau meninggal dunia, atau bisa juga telaga di surga.

Memang diriwayatkan dalam Shahîh Al-Bukhâri, bahwa nanti di surga penghuninya akan diberi minum dari telaga yang bernama Al-Kautsar. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa pada suatu saat sekian banyak orang akan digiring ke telaga Al-Kautsar. Yang diberi minum dari telaga hanyalah umat Rasulullah Saw. Tetapi ketika sudah mendekat ke telaga Al-Kautsar, mereka diusir oleh para malaikat. Lalu Rasulullah berteriak, “Sahabatku, sahabatku.” Kemudian Allah berfirman, “Tidak. Mereka bukan sahabatmu. Engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.” Rasulullah pun berkata, “Celakalah orang yang mengganti ajaran-ajaran agamaku setelah aku meninggal.”

Selanjutnya, kata nahr, juga memiliki beberapa makna. Dalam bahasa Arab, salah satu arti kata nahr adalah berkurban. Arti yang lain adalah bagian dada sebelah atas. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nahr ialah mengangkat tangan lurus dengan bahu sebelah atas. Sehingga, kata mereka, maknanya adalah, “Salatlah kepada Tuhanmu, ucapkan kebesaran nama Tuhanmu sambil meng-angkat tangan selurus bahu.” Begitu kata mereka. Pendapat ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hatim, Al-Hakim, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, dalam Sunannya, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: “Ketika surat ini diturunkan kepada Nabi Saw., beliau bertanya kepada Jibril: ‘Apa yang dimaksud dengan nahr yang diperintahkan oleh Allah di sini?’ Jibril berkata: ‘Yang dimaksud di sini bukan berkurban. Maksud kata ini adalah memerintahkanmu untuk mengangkat tangan saat menghormat dalam salat, saat takbir, ruku, dan mengangkat kepala dari ruku. Sebab, itulah salat kami dan salat malaikat yang berada di langit yang tujuh. Segala sesuatu itu memiliki perhiasan-nya. Dan perhiasan salat adalah mengangkat tangan pada setiap takbir.’”

Adapun mengenai al-abtar, Al- Maraghi menyebutkan ada beberapa hal, yaitu:

1. Dulu, pengikut-pengikut Rasul Saw. yang pertama adalah kelompok dhu‘afa, fuqara dan orang miskin. Kebanyakan mereka bodoh-bodoh sehingga diejek dengan sebutan sufahâ’, orang-orang bodoh, walaupun kemudian Allah menegaskan, alâ innahum hum al-sufahâ’, mereka (para pembesar) itulah yang bodoh. Mereka (para pembesar) itu meng-anggap bahwa kalau agama yang dibawa oleh Muhammad itu benar, tentu pengikutnya adalah orang-orang pandai, orang-orang besar, dan orang-orang yang mengerti. Tetapi, mengapa para pengikutnya justru orang-orang bodoh? Karena itulah mereka menganggap bahwa agama itu akan cepat abtar, akan cepat lenyap, cepat terputus.

2. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. mempunyai beberapa orang putra. Putra tertua bernama Al-Qasim. Kemudian Zainab, Abdullah, Ummu Kultsum, Ruqayyah, dan Fathimah. Al-Qasim meninggal. Setelah ia meninggal, Abdullah pun meninggal. Maka, berkatalah Al-‘Ashi bin Wail Al-Sahmi, salah seorang pembesar Quraisy: “Sudah terputus keturunan Muhammad; ia menjadi abtar, orang yang terputus keturunannya.” Sebab itulah Allah menurunkan ayat, Inna syâni’aka huwa al-abtar (Sesunguhnya pembencimulah yang akan binasa). Itulah pula sebabnya sebagian ulama men-jelaskan bahwa yang dimaksud al­kautsar dalam surat ini adalah keturunan Rasulullah Saw., yakni janji Allah bahwa keturunan Muhammad tidak akan terputus, melainkan beranak pinak dalam jumlah yang banyak. Dahulu, orang Arab menyebut seorang anak dengan nama bapaknya. Jadi, jika seseorang tidak mem-punyai anak, maka namanya tidak akan disebut-sebut orang. Dan ternyata, nama Rasulullah terus berlanjut dengan kenangan yang baik, hingga sekarang.

3. Merupakan sunnah para nabi bahwa para pengikutnya pada umumnya berasal dari kelompok dhu‘afa, dan bahwa para nabi dan pengikutnya selalu memilih bergaul dengan kelompok dhu‘afa. Di India, saya mendengar bahwa Islam berkembang pesat karena para ulamanya mendekati kelompok orang yang tidak memiliki kasta. Orang-orang yang terlempar dari sistem kasta itu kemudian masuk ke dalam Islam dengan berbondong-bondong, hingga orang-orang Hindu ter-paksa menggunakan kekuasaan mereka, membunuh orang-orang Islam. Islam memiliki daya tarik yang besar bagi kelompok dhu‘afa, orang-orang lemah. Saya perlu menegaskan ini berkali-kali. Karena, selama ini orientasi dakwah kita hanya tertuju kepada kelompok elit saja, atau kelompok menengah yang sekarang bangkit. Sementara orang-orang miskin, dhu‘afa didekati oleh orang-orang Kristen, sehingga beberapa tempat telah dikristenisasikan.

Dalam Al-Qur’an, yang dimaksud dhu‘afa bukan saja lemah dalam arti materi, tapi juga ilmu. Tapi, titik beratnya adalah dhu‘afa dari segi materi. Orang yang lemah dari sisi kekayaan, biasanya lemah juga dari sisi ilmu pengetahuan, kehidupan politik, dan kehidupan sosial. Dhu‘afa adalah kelompok lemah, orang-orang kecil. Al-Quran memiliki istilah lain, mustadh‘afîn, yakni orang-orang yang ditindas, dilemahkan.

Kalau Karl Marx berkenalan dengan Islam yang diajarkan oleh Rasul Saw., boleh jadi ia akan masuk Islam. Sebab, sebenarnya yang mendorong Marx untuk merumuskan Marxisme itu adalah rasa keprihatinannya terhadap penderitaan kelompok proletar akibat revolusi industri. Ketika saya membaca Das Kapital, karya Karl Marx, di situ dengan penuh emosi Marx menguraikan betapa menderitanya bangsa-bangsa yang terjajah akibat kapitalisme. Sayang, waktu itu ia mengenal agama Kristen, yang justru mengajarkan orang-orang tertindas itu bukan untuk melawan melainkan mengajarkan bahwa, “Apabila pipi kirimu ditampar, maka berilah pipi kananmu. Apabila bajumu dirampas, maka berilah jubahmu. Apabila kamu disuruh lari satu mil, larilah dua mil.”

Itu khutbah Yesus kepada para pengikutnya. Kata Marx, itu khutbah orang-orang yang tertindas, sehingga mereka tidak mau melawan. Itulah sebabnya Marx menyebut agama sebagai candu rakyat, karena membekukan pemikiran. Andaikan ia mengenal Islam, mungkin pandangannya tentang agama tidak seperti yang ia tulis. Sebab, ada beberapa kesamaan antara Islam dan Marxisme, yaitu: kedua-duanya amat concern, sangat memperhatikan nasib kelompok dhu‘afa. Keduanya sama-sama berpikir bahwa kaum dhu‘afa tidak boleh diam, melainkan mereka harus merubah sistem kapitalisme. Tetapi, tentu banyak perbedaan yang jauh antara keduanya, antara lain, bila Marxisme menolak agama sama sekali, menganggapnya sebagai candu rakyat, maka Islam justru menganggap agama sebagai motivator paling utama.

Bila Marxisme meniadakan Allah, maka Islam menempatkan Allah di tempat yang paling tinggi. Bila mereka menolak moralitas, sehingga bagi mereka merebut kekuasaan dengan cara apa pun adalah halal, maka Islam tidak demikian.

Karena persamaan yang begitu dekat di atas, maka orang-orang yang sering membela kaum dhu‘afa sering disebut komunis. Seakan-akan hanya komunis saja yang membela orang-orang lemah. Padahal, Islamlah pembela orang-orang dhu‘afa. Tema-tema inilah yang harus kita sebarkan untuk melenyapkan komunisme. Tentu saja, bukan disebarkan dengan kata-kata semata, tetapi dengan tindakan-tindakan yang real.*

Kelahiran memang tidak bisa kita pilih. Tidak mungkin kita menggugat mengapa kita lahir sekarang, di zaman yang kata banyak orang sarat kejahatan, penyeleweng-an, korupsi, manipulasi, retorika-dusta, dan sejumlah kemuakan manusiawi yang lain. Tidak mungkin kita menuntut untuk dilahir-kan pada zaman kemakmuran, keemasan, keadilan, serba mudah, atau zaman dan tempat ketika hak-hak asasi dan kehormatan diri begitu dijunjung tinggi, atau lahir di Negara Ideal --seperti kata Plato-- atau Madinah Fadhi-lah --Kota Utama, seperti kata Al-Farabi. Kelahiran jelas tidak bisa ditawar-tawar, seindah dan seburuk apa pun kelahiran itu. Ia adalah keterpaksaan yang harus dijalani, suka atau tidak.

Namun hidup itu sendiri sebenarnya merupakan pilihan. Bahwa lahir tidak bisa diutak-atik atau diminta, itu betul. Tapi bahwa hidup merupakan sebuah proses yang menawarkan kebebasan, juga sebuah kebenaran yang lain. Bahwa kita adalah makhluk organis --begitu kata A.N. Whitehead-- yang bebas menentukan hidup, juga kemestian yang sukar ditolak. Kita memang terpaksa untuk lahir, tapi kita bebas untuk mengisi hidup. Kita bebas menentukan atau merancang jenis hidup apa yang kita inginkan. Kita bebas untuk menjadi orang baik, atau orang jahat. Kita bebas untuk menjadi pejabat yang bersih dan berpihak kepada keadilan, atau pejabat yang korup dan mudah dibeli untuk menjual kekayaan bangsa dengan kamuflase pembangunan. Tidak ada paksaan untuk masuk surga, juga tidak ada tekanan untuk masuk neraka. Lâ ikrâha fi al­dîn, kata Al-Quran. Silahkan pilih. Toh, hidup ini disediakan memang untuk memilih. Bahkan mengakhiri hidup itu sendiri adalah juga sebuah pilihan. Bila kita ingin segera mati, bergegaslah melakukan tindakan kausalitatif yang menyebabkan kematian, seumpama memotong leher, menembakkan peluru ke jantung, menjatuhkan diri dari ketinggian tertentu ke bumi bebatuan, atau yang lainnya. Jika syarat-syarat kematian itu telah terpenuhi, kita segera mati. Insya Allah. ***

Dari seluruh pilihan hidup, intinya hanya dua: kebaikan dan kejahatan. Kedua pilihan itu telah ditiupkan secara inspiratif (ilham) dalam setiap jiwa manusia. Secara fitrah, setiap orang mampu membedakan kebaikan dari kejahatan, setidaknya secara universal. Secara naluriah-psikologis, setiap orang membenarkan bahwa menghormati hak asasi adalah kebaikan, sementara meleceh-kannya berarti kejahatan; bahwa berbuat adil adalah kebaikan, sementara bertindak tiran dan zalim adalah keburukan. Potensi ini telah “diwahyukan” langsung oleh Sang Pencipta. Ini misalnya ditegaskan dalam beberapa ayat berikut: “Kami telah menunjukkan kepada manusia dua jalan” (QS 90:10); “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS 91:8); “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan (yang lurus): ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (QS 76:3).

Karena itu, setiap orang pada dasarnya memiliki potensi atau bakat yang sama untuk berbuat baik dan buruk. Omong kosong kalau ada orang yang menyatakan bahwa seorang penjahat tidak berpotensi menjadi baik. Juga dusta bila ada yang mengatakan bahwa seorang alim tidak mempunyai bakat jadi orang jahat. Secara filosofis, setiap orang berpotensi atau berbakat untuk menjadi satu di antara dua: baik, atau jahat. Orang sejahat Yazid bin Muawiyah, Hitler, Pol Pot, misalnya, sebenarnya mem-punyai bakat untuk menjadi orang baik. Sebagaimana orang sesuci Muhammad dan Isa bin Maryam pada dasarnya juga ber-potensi untuk berbuat buruk. Tapi mengapa Yazid, Hitler dan Pol Pot tidak menjadi baik, sementara Muhammad dan Isa tidak menjadi jahat?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, para filosof menyodorkan dua key words: potensi dan aksi (tradisi filsafat Islam menyebut yang pertama dengan quwwah dan yang kedua dengan fi‘l). Menurut mereka, setiap potensi tidak selamanya menjadi aksi (tindakan), tapi setiap aksi selalu bermula dari potensi. Setiap orang berpotensi, misalnya, untuk membuang sampah sembarangan. Tapi orang yang sangat peduli terhadap kebersihan tidak akan melakukannya. Setiap orang berpotensi untuk membunuh. Tapi seorang bermoral dan berperikemanusiaan tidak mungkin mewujudkan potensi itu menjadi aksi. Setiap orang berpotensi untuk berdusta, atau merekayasa kesaksian palsu. Tapi orang yang memegang teguh nilai-nilai kejujuran tidak mungkin melakukannya. Mengapa? Jawabannya bisa alasan kesehatan, etika, moral, agama, prinsip-prinsip kebenaran, atau yang lainnya. Mengapa Rasul tidak berbuat jahat padahal beliau berpotensi untuk itu? Sebab, kalau beliau jahat, maka beliau bukan rasul lagi. Kecintaan dan tanggung jawabnya kepada Tuhan dan makhluk-Nya memustahilkan dirinya memanifestasikan potensi buruknya menjadi aksi. Konsistensi beliau terhadap segala kebaikan akhirnya menutup rapat potensi buruk itu untuk mengejawantah. Lantas mengapa Hitler tidak menjadi baik padahal ia juga berpotensi untuk itu? Karena, kekotoran hati dan jiwanya telah begitu pekat sehingga menutupi potensi baik itu, yang akibatnya potensi jahatlah yang menguasai dirinya untuk mewujudkan aksi-aksi jahat. Keseringannya melakukan aksi keburukan menyebabkan potensi baiknya tersumbat untuk menjadi aksi.

Mengenai potensi baik dan jahat ini sebetulnya bisa juga dipahami lewat teori cermin Imam Al-Ghazali. Orang yang senantiasa membersihkan jiwanya, jiwanya itu laksana cermin yang bersih. Bila penampakan realitas dianggap sebagai sebuah kebaikan, maka dalam jiwa yang bagaikan cermin itu akan nampak seluruh realitas yang ada di hadapannya. Sementara orang yang selalu mengotori jiwanya hingga pekat, maka jiwanya sama sekali tidak bisa memantulkan realitas di hadapannya, sedekat dan sejelas apa pun realitas itu. Potensi baiknya sudah begitu dalam terpendam rapat karena ditindih oleh gumpalan kejahatannya.

Selanjutnya, dalam sphere filosofis, pernyataan bahwa setiap manusia berpotensi atau berbakat menjadi orang baik atau jahat, mungkin kedengarannya “datar-datar” saja. Tapi dalam wilayah atau situasi psiko-kultural tertentu, barangkali kedengarannya sangat janggal, bahkan bisa menyesatkan perjalanan eksistensial seseorang. Misalnya disebutkan dalam rubrik psikologi bahwa setiap laki-laki berbakat jadi homoseksual atau biseksual; setiap perempuan berbakat menjadi lesbi; setiap suami --seperti kata dr. Boyke-- atau istri berbakat menyeleweng; setiap orang berbakat menjadi pembohong; setiap penguasa berbakat menjadi tiran; setiap pengusaha berbakat menjadi penyuap; setiap bawahan berpotensi menjadi penjilat; dan seterusnya. Menurut saya, dalam konteks tertentu, baik individual maupun kultural, doktrin-doktrin semacam ini bisa sangat “berbahaya”. Sebab, ini bisa dianggap sejenis legitimasi bagi orang-orang tertentu untuk bertindak menyimpang atau jahat. Kelak mereka mengira bahwa deviasi dan penyelewengan adalah naluri fitrah yang harus disalurkan. Bisa jadi nanti ada seorang suami atau istri yang membenarkan per-selingkuhannya dengan alasan bahwa itu memang bakat alami; atau boleh jadi pula kelak ada seseorang yang membenarkan kesukaannya gonta-gonti pacar atau pasangan dengan alasan bahwa itu adalah potensi atau bakat fitrah manusiawi. Mereka tidak paham bahwa itu sebenarnya berada dalam konteks filosofis, tepatnya konteks potensi belaka: potensi yang tidak wajib jadi aksi. Jadi, kita memang harus arif, juga hati-hati.

Karena manusia bebas menentukan hidup, bahkan menurut Jean Paul Sartre dan F. Nietszche kebebasan itu mutlak tanpa batas, maka akibat apa pun yang diterima tidak patut dilibatkan pada orang lain. Ketika ia begitu perkasa dan jantan menjalani kebebasan pilihan hidupnya, maka ia harus perkasa dan jantan pula untuk menanggung risiko terberat sekalipun. Ia tidak berhak berlindung pada orang lain untuk menjauh-kan darinya akibat yang harus ia terima. Juga, ia tidak berhak berlindung pada simbol-simbol agama, semisal haji, umrah, mendiri-kan masjid, atau masuk Islam, dan lain-lain, untuk membebaskan diri dari dampak yang mesti ia peroleh. Sebab, bukankah ia bebas menjalani pilihan hidupnya? Seperti kata Goenawan Mohamad, hidup itu selain merupakan pilihan-pilihan, juga risiko-risiko.

Adakalanya memang benar apa yang dikatakan oleh seorang guru saya, Ustadz Agus Efendi: memaksa orang ke surga lebih baik dari-pada membebaskannya ke neraka. Tapi dalam konteks eksitensial, itu hanya berlaku pada orang-orang tertentu yang belum mampu memfungsikan kesadarannya, semisal anak-anak atau orang-orang yang cara berpikirnya masih seperti anak-anak. Sedangkan orang selain mereka tidak lagi patut dipaksa, meski pemaksaan itu demi sebuah surga yang damai, sentosa, dan menyelamatkan. Kebebasan memilih dan menentukan apa yang ingin diperbuat, baik atas dasar nilai pragmatisme, hedonisme, utilitarinisme, moralisme, atau semacamnya, harus tetap dipelihara. Sebab demikianlah memang Tuhan menganugerahkan sebagian otoritas-Nya kepada manusia.

Jadi, lakukanlah apa yang ingin Anda lakukan. Jika Anda ingin rakus menumpuk-numpuk kekayaan, hingga gunung dan pulau pun dibeli, meski harus menyuap, menyengsarakan, membunuh, dan merampas mata pencaharian rakyat; jika Anda ingin menjaga reputasi sehingga memperbodoh rakyat dengan rekayasa-retoris-politis atau kesaksian palsu; jika Anda ingin memanfaat-kan kekuasaan untuk memperkaya diri dan keluarga; jika Anda ingin mengeruk kekayaan dalam waktu singkat dengan mengeksploitasi dan memanipulasi moralitas, harga diri, agama, seni, keindahan, dan yang lainnya --misalnya dengan menyebarkan film, lagu, produk, iklan porno dan berselera rendah, atau merampas keceriaan anak-anak ingusan dan ABG untuk menjadi mesin uang Anda dengan menjual mereka kepada para pemuja nafsu; jika Anda ingin bersenang-senang mencari kesenangan hidup tanpa peduli terhadap keselamatan orang lain dan lingkungan; dan lain-lain, maka lakukanlah semuanya. Karena hidup memang sebuah pilihan yang bebas. Kami yakin, Anda sudah mempertimbangkan segalanya masak-masak. Kami juga percaya, Anda semua sadar bahwa entah sore ini, esok atau lusa Anda akan mati; bahwa kelak Anda akan dimakan ulat, habis tanpa sisa. Tapi kami mohon, jangan persuasi atau rayu kami, apalagi sampai memaksa kami untuk mengikuti pilihan hidup Anda. Jangan jual keperawanan dan keluguan kami hanya untuk melunasi hutang-hutang keburukan Anda. Jangan ajak kami menanggung akibat-akibat kejahatan yang Anda perbuat. Biarkan kami menikmati kebebasan hidup ini. Seperti Anda, kami juga ingin bebas. Merdeka!

Sumber dokumen : rasniardhi.blogspot

Artikel yang berhubungan...



Tidak ada komentar: